narrative writings of thesunmetmoon

Wonshua Omake

#wonshuashort

Ngantuk. Ngantuk banget. Tanpa ditonton, Joshua sengaja menghidupkan televisi sambil maenan hape, menunggu kedatangan Soonyoung. Kost-an Joshua adalah sebuah kamar sederhana. Begitu pintu dibuka, ada jeda kecil yang Joshua jadikan ruang menonton dan makan dengan menggelar karpet bulu imitasi serta bantal-bantal bundar di depan sebuah televisi kecil harga sejutaan. Tentunya nggak ada meja selain untuk menaruh televisi tersebut.

Agak mundur dari area itu, adalah ranjang Joshua. Ranjangnya nggak gede, tapi muat sih buat dua orang kalo dipaksain. Ukuran seprainya 160 x 200 x 20, dengan sisa agak banyak buat diselipin ke dalam matras. Kemudian, nggak jauh dari situ, ada pintu ke kamar mandi yang hanya berisikan pancuran, keran, dan toilet duduk. Joshua nggak punya lemari karena hanya akan memakan tempat. Dia masukkan baju-bajunya ke beberapa kotak yang dia taruh di bawah gantungan baju terbuka (yang cukup trendi di kalangan anak kost atau pecinta kamar model minimalis jaman sekarang). Persis di sebelahnya, dia taruh kulkas mini dan toaster, yang dia turunkan dari atas kulkas ketika digunakan.

Secara keseluruhan, kamar kost itu cukup luas, memang, namun sederhana. Joshua menyukai warna tanah: warna-warna alamiah seperti cokelat muda, hijau daun yang agak gelap, abu-abu yang sehangat bulu tikus, juga warna-warna pastel. Ia memadu padankan dengan seprai putih bersih atau, sesekali, hitam. Warna sederhana untuk kamar kost yang sederhana.

Di kamar itulah dia menanti kedatangan rekan kerjanya. Kelopak mata sempat tertutup beberapa kali. Dia sudah siap untuk tidur, berbalut piyama katun yang adem. Malam itu cukup panas, jadi Joshua menurunkan suhu AC-nya. Kedua kaki menekuk. Punggung bersandar di sisi ranjang. Dia menduduki sebuah bantal bulat sambil jari-jemarinya sibuk menyapu layar handphone, memainkan game yang sedang booming akhir-akhir ini.

Tok, tok, tok!

Suara ketukan di pintu kamar persis tiga kali.

Menghembuskan napas (lega), Joshua pun keluar dari game, melempar handphonenya ke kasur, kemudian beranjak. Diambilnya jaket Soonyoung asal-asalan, terlalu mengantuk untuk peduli.

Klek.

Terpampang di sana, ringisan lebar pada wajah rekan kerjanya.

“Lama.”

“Ya maap.”

Joshua menyodorkan jaket itu pada pemiliknya, yang langsung berpindah tangan.

“Siipp! Thanks, bro!”

“Napa nggak pake yang laen sih?” dia mendengus.

“Yha gimana. Ini tuh jaket couple-an sama cewek gue, terus dia pengen gue pake jaket ini biar kembaran sama dia besok,” buru-buru Soonyoung menambahkan. “Gue tau. Bego, emang. Nggak usah dijudge.”

Joshua memutar bola mata, “Gue nggak ngomong apa-apa.”

“Mata lo tuh.”

“Napa mata gue?” dia mengernyit.

“Ngejek.”

Joshua memutar lagi bola matanya. Gemas, Soonyoung melingkarkan lengan ke leher Joshua, mengusrek kepala lelaki itu, membuat Joshua semakin protes.

“Anjing, Kwon—”

“Oi, Nyong! Udah belom?”

Membeku.

Secara harfiah. Hampir Joshua lupa caranya bernapas. Matanya membelalak, menetap pada lantai, sementara Soonyoung melepasnya untuk bicara pada pemilik suara itu.

“Sori, sori. Udah kok. Kok lo nyamperin ke sini, katanya males?” ada tawa ringan dalam nada bicara Soonyoung.

“Ya lo lama banget?? Buru. Udah malem nih. Gue besok kerja.”

“Kerja mulu lo, cari pacar makanya biar wiken kencan, kayak gue,” kali ini, jelas tawa. “Oh iya. Sini dah sekalian gue kenalin.”

Suara itu...

“Kenalin nih coy, housemate gue yang sering gue ceritain ke elo.”

Suara itu......

“Ini Wonwoo.”

....ya Tuhan...

“Won, kenalin, temen kantor gue, Jis—”

Joshua...?

...........ya Tuhan...............

Dadanya bergejolak. Takut. Takut. Joshua takut. Namun, dia nggak bisa menahan diri untuk nggak mengangkat wajahnya perlahan, amat perlahan, untuk menatap pemilik suara tersebut. Suara yang sudah lama dia nggak dengar, namun nggak akan pernah dia lupakan. Suara yang baru saja memanggil namanya. Nama yang dia sembunyikan dari seluruh dunia ketika memulai hidup baru selepas kuliah dan pindah ke kota baru untuk bekerja.

Nama yang meluncur dari lidah yang familier baginya.

Tenggorokannya tercekat, mendadak kering kerontang. Kedua matanya membulat. Dia butuh oksigen. Oh Tuhan...apa ini mimpi...?

“Hah? Joshua?” Soonyoung mengernyit. Dia tau nama itu, sering mendengarnya sampai tercetak dalam benak. “Joshua...Joshua...” Nama siapa itu ya...? Hmm... “Joshua-nya Won...tetangga yang lo taksir dulu itu bukan, Won? Shua—”

Kaget, dia, saat semua menjadi sebuah gambaran utuh dalam kepalanya. Cepat, Soonyoung menoleh, memandangi Jisoo (Joshua, rupanya) dengan takjub.

“Lo Joshua...,” hembusnya, nggak percaya. “Oh God, lo Joshua yang itu...”

Soonyoung kemudian menjauh, hanya untuk digantikan oleh Wonwoo yang tetiba masuk ke dalam jarak personalnya, meski masih menyisakan jeda satu langkah lebar di antara mereka. Joshua nggak bisa mengalihkan pandangan dari Wonwoo. Takut, kalau dia memutusnya, Wonwoo akan pergi lagi darinya. Takut, kalau lelaki ini, lelaki yang suatu malam nun jauh di masa lampau telah menghujani ciuman lembut di seluruh bagian tubuhnya, akan lepas dari genggamannya lagi.

“Shua...,” desahan rendah, seakan nggak percaya apa yang ada di depan mata. Wonwoo mengangkat tangan. Jari telunjuknya menekuk dan, dengan hati-hati, disentuhnya halus pipi Joshua, membuat lelaki itu terkesiap. Napas mendadak ditarik dengan bunyi kencang. Mata serta merta memejam.

Wonwoo memperhatikan itu semua, meraup semua perubahan pada wajah lelaki itu. Tangannya yang menyentuh Joshua gemetaran. Bibir bawah Joshua gemetaran. Karena Joshua nggak menolak sentuhannya, maka Wonwoo memberanikan diri untuk merubah elusan menjadi tangkupan tangan. Jeda di antara mereka dihilangkan oleh langkah perlahan.

“Shua.....”

Kini suaranya ikut gemetar. Meninggi dan parau. Napas keduanya memburu oleh atmosfer yang kian memberat. Tangan-tangan Wonwoo mengelus dan meraba, meneliti wajah Joshua dengan seksama. Ibu jari meraba bibir yang merekah, sengaja menetap lama di sana.

”....Tanya aku...”

Wonwoo memandanginya bingung. Joshua kemudian membuka mata, menatapnya lurus. Di bawah kulit ibu jari Wonwoo, bibirnya bergerak membentuk kalimat yang keluar berupa bisikan rendah semata.

”...Tanya aku, Won, tanya aku apa aku sayang sama kamu...”

Mata Joshua berkaca-kaca. Berkilau dengan cantik di mata Wonwoo. Dada Wonwoo membuncah oleh perasaan yang campur aduk nggak karuan. Segala kenangan, segala harapan. Segala perasaan yang dia simpan jauh di lubuk hatinya untuk lelaki di hadapannya itu, meraung, mencabik, membelesak keluar, tumpah ruah bagai kotak Pandora yang dibuka.

Dan Jeon Wonwoo nggak ingin menguncinya lagi.

”...Joshua Hong,” lelaki itu balas berbisik, hampir menangis. Jarak mereka begitu dekat. “Kamu sayang sama aku?”

Jawabannya, tentu saja, adalah kalungan lengan pada leher Wonwoo. Tentu saja, adalah sebuah ciuman dengan intensitas yang mengerikan. Lidah yang panas dan terburu-buru. Bagai dahaga yang akhirnya menemukan pelepasannya. Wonwoo membalasnya dengan mencium balik sama ganasnya, merangkul balik tubuh itu sama eratnya.

Seolah waktu nggak pernah berjalan dan mereka, Joshua dan Wonwoo, terlempar ke troli di depan lemari pendingin di supermarket kala itu.

“Aku-ah-cin-mmh-

Sulit bagi Joshua untuk merangkai kalimat karena Wonwoo nggak berhenti menciumi bibirnya. Dia nggak tau kapan sudah ditekan ke pintu kamarnya. Nggak tau kapan pintu itu ketutup dan Soonyoung secara ajaib sudah pergi, meninggalkan kedua sejoli itu berciuman seolah hari esok nggak akan pernah datang.

Joshua membiarkannya. Dia membiarkan Wonwoo mengambil semua. Pertamanya. Raganya. Hatinya. Semua, semua dia berikan pada lelaki dalam dekapannya itu, pada lelaki yang menciuminya seakan Joshua oksigen baginya. Semua.

Ambillah. Ambil.

Semua ini, ini, punya kamu.

“Shua-haa-Shua...”

Sampai pada akhirnya, ciuman harus terlepas juga sejenak. Ujung hidung yang masih saling menempel mengutarakan keengganan untuk menjauh. Tangan Joshua berpegangan pada tengkuk Wonwoo. Satu paha Wonwoo entah kapan menyelip di antara kedua paha Joshua. Tangannya menggamit kencang pinggang dan pinggul Joshua. Dia harus mati-matian menahan diri untuk nggak bergerak di paha Wonwoo. Bibir mereka menyentuh kembali, namun nggak berciuman. Mereka hanya menikmati sentuhan-sentuhan yang selama ini mereka nantikan semenjak perpisahan itu.

“Won...Won-ngh–” Wonwoo menciumi sisi leher Joshua. “-aku-ah-aku belum jawab pertanyaan k-kamu-oh–”

“Hmmh.”

“Won, stop,” Joshua terkekeh. Dia bisa merasakan senyuman Wonwoo pada kulit lehernya. Joshua pun mendorong Wonwoo sedikit sehingga mereka bisa bertatapan lagi.

Di dalam sana, dalam gelap bola mata Jeon Wonwoo, Joshua mencari rasa benci, kekecewaan, atau sejenisnya, yang selama ini dia takutkan kalau bertemu Wonwoo kembali. Joshua yakin Wonwoo membencinya karena dia kabur seorang diri. Lari, meninggalkan Wonwoo dalam lingkungan yang memaksanya mengunci diri sendiri. Memaksanya menjadi orang lain yang bukan dirinya.

Namun, Joshua sama sekali nggak menemukan itu. Yang dia temukan saat ini, oh, yang terefleksi pada bola mata Jeon Wonwoo—

--hanyalah cinta.

Cinta yang begitu besar. Hangat dan meluap-luap. Cinta yang orang awam pun bisa melihatnya, tumpah keluar tanpa ditahan-tahan sama sekali. Cinta yang, Joshua pikir, dia telah kehilangannya.

Masih ada. Ada di sini. Wonwoo-nya. Orang yang telah bersamanya, sejak masih kecil sampai dia menjadi lelaki dewasa. Yang mengajarinya arti mencintai yang sesungguhnya.

Kekasihnya.

“Won...,” Joshua berbagi napas dengan Wonwoo. “Aku cinta—”

Teguk ludah.

“Cinta—”

Hembusan napas.

“Aku cinta sama kamu...”

Selalu. Selamanya.

Satu-satunya.

Dan, ketika Wonwoo mengangkatnya ke dalam gendongan, Joshua berteriak, lalu tertawa. Tawa yang panjang dan membahana. Ringan dan bahagia.

Di antara desahan dan tarikan napas, dia mendengarnya, begitu lembut, begitu indah.

Aku juga cinta sama kamu...”

==

6 unread messages

(Parah lu ya, Won, lu langsung lupa sama gue. Gue kudu ngeojol tadi ahsksj untung gue temen yang baek njir ditinggal ngewe parah bets.

Btw congrats, to you and Joshua too. Kaget banget nggak nyangka dunia sempit bener dah.

Bener kan, Won, omongan gue? Kalo lu bedua jodoh, nggak akan kemana, Won.

Eniwei, besok PJ ya. Inget. Jangan pecel ayam depan lagi, yang mahalan dikit lah. Pizza, gitu.

Selamat ya, Won, I hope you two all the happiness in the world!

Horanghae 🐯❤️)