narrative writings of thesunmetmoon

Yoon Jeonghan: Case 1

#wonhanmurder

Ah.

Sekedip.

Dua kedip.


(“Berita besar! Berita besar! Menteri Yoon Jeonghan tewas semalam! Berita besar!”)


Wow. Dia sudah bisa mendengar seruan kencang bocah loper koran yang turun ke jalan, menjajakan berita pagi hari yang meresahkan akan penemuan mayat salah satu menteri mereka, tertuang melalui goresan pena yang menggambarkan kronologi kejadian. Koin-koin peni akan berpindah dari saku para pekerja ke tangan kecil si bocah yang kotor oleh minyak mesin dan margarin bekas sarapan, merogoh pundi-pundi mereka yang tak seberapa itu untuk membaca kesimpulan sok tahu para reporter yang mungkin hanya mendapat sepuluh persen fakta dari juru bicara kepolisian. Sisanya adalah, lo and behold, kekuatan ~imajinasi~.

Malang, Yoon Jeonghan tidak mampu menyanggah maupun mengamini imajinasi para reporter tersebut, sebab ia tidak tahu akan kematiannya sendiri. Seperti apakah ia mati?

Dengan apa? Bagaimana?

Kenapa?

“Di mana.”

Sebuah suara bergaung di tengah gelapnya malam. Suara asing yang, entahlah, kurang manusiawi...? Seperti bergema dalam kepalamu tanpa ada wujud apa pun berada di sana.

“Pertama, lokasi.”

Krsk.

Bunyi sol sepatu bergesekan dengan kerikil jalanan, semakin dan semakin mendekatinya dari belakang.

“Jalanan ini terlalu sempit. Area ini terlalu kumuh. Di sisi kiri ada hamparan tembok bangunan tanpa penghuni. Di sisi kanan kita ada lampu jalan, tetapi mati-hidup tidak berkesudahan,” sang menteri mengikuti arahan suara tersebut dengan pandangannya. “Tidak jauh dari lampu itu, ada tumpukan sampah dan semak sebagai sedikit penghijauan. Dan, kalau kau melihat ke depan—”

Jeonghan meluruskan kepala. Fokusnya lekat ke hadapan.

“—kegelapan.”

Seketika, dunia hilang di bawah kaki mereka, digantikan oleh kehampaan belaka. Kanan, kiri, depan, belakang, bawah, atas—

—nihil.

“Bukankah lokasi yang bagus untuk membunuh seseorang, Menteri?”

Yoon Jeonghan menutup mata sejenak, sebelum ia berbalik untuk, akhirnya, menatap pemilik suara itu tepat di wajah.

Tanpa dinyana, ia menemukan sebuah wajah yang lembut. Meski matanya menukik di sudut dan rahangnya tergolong tajam, keseluruhan perawakan si lelaki nampak halus dan tidak berbahaya. Bibirnya penuh di bagian bawah. Hidungnya kecil, namun tegas. Rambutnya hitam lurus dengan poni menutupi dahi. Kacamatanya bergagang tebal berwarna hitam dan sering ia naikkan di bagian tengahnya.

Lelaki itu terlihat normal—seperti lelaki tetangga sebelahmu pada umumnya—andai saja pakaian yang ia kenakan tidak begitu...aneh. Tak ada jas wol, kemeja putih, celana bersuspender, maupun topi bowler.

Sang menteri belum pernah melihat pakaian seperti itu.

“Siapa kau?”

Lelaki itu menyeringai kecil, “Orang mati tidak memerlukan nama.”

Yang serta-merta dijawab dengusan menghina oleh Yoon Jeonghan, “Aku tahu aku sudah mati dan kau mungkin Malaikat Kematian atau sejenisnya. Dengar, aku tidak peduli siapa kau sebenarnya, tapi setidaknya berikan aku nama untuk kupanggil ketika aku bertanya padamu.”

Lelaki itu sedikit terkejut, namun ia tidak kentara menampakkannya. Batinnya mengatakan bahwa sang menteri bukan kasusnya yang biasa.

“Wonwoo.”

“Wonwoo?”

Ia mengangguk.

“Baiklah, Wonwoo,” Jeonghan melipat lengannya di dada. “Siapa yang membunuhku?”

Lelaki itu mengangkat bahu sambil lalu.

“Oh, ayolah. Aku tahu kau menyaksikan—”

“Aku tidak tahu,” potong Wonwoo. “Dan aku bukan Malaikat Kematian. Ini kartu namaku.”

Kartu nama. Sungguh absurd. Sang menteri mengernyitkan alis kala membaca apa yang tertulis.

“Jeon Wonwoo. Penasehat Alam Baka.” kernyitannya semakin dalam. “Penasehat?”

Ia mengangguk.

“Malaikat Kematian tidak akan datang padamu, Menteri. Mereka hanya datang ke manusia yang jangka waktunya sudah habis di dunia sesuai kontrak. Kalian—” lelaki bernama Wonwoo itu mendongakkan dagu sedikit. “—adalah anomali. Orang-orang yang kontraknya terputus begitu saja, seperti menulis perkamen dan tinta penanya habis. Setitik noda terakhir di penghujung surat. Kami yang akan menemui kalian, bukan mereka.”

Yoon Jeonghan, persis pada saat itu, memutuskan bahwa ia tidak menyukai lagak si lelaki.

“Jika begitu,” balasnya, tak mau kalah. Ia takkan menyandang gelar menteri bila ia mudah menyerah. “Bila memang seperti itu, lalu untuk apa seorang penasehat dikirim padaku? Apa yang akan kau nasehati pada seonggok arwah ini, Wonwoo?”

Tiada angin bertiup di kehampaan tersebut, namun sang menteri bisa merasakan dingin teramat sangat. Tubuhnya menggigil di bawah tatapan tajam sang penasehat.

“Yoon Jeonghan, aku akan bertanya satu hal padamu,” ucapnya. “Apa yang kau inginkan saat ini, wahai Orang Mati?”

Satu tarikan napas kemudian, sang menteri menjawab dalam nada tegas.

“Aku ingin tahu siapa yang telah membunuhku.”

Hening.

“Bahkan bila itu menghabiskan dekade?”

Jeonghan bergeming.

“Bahkan bila kau tidak akan pernah bereinkarnasi karena itu?”

Ia masih bergeming.

Wonwoo, alih-alih mendesah frustrasi, malah mengembangkan seringai. Matanya yang hitam pekat berkilau oleh sesuatu yang menyeramkan yang tak bisa Jeonghan pecahkan saat itu.

Membutuhkan waktu yang lama bagi Jeonghan untuk, pada akhirnya, mengetahui apa maksud kilatan mata Wonwoo.

Jauh, jauh ke depan kemudian.