in another life.

not so you

di salah satu deret bangku yang bersilangan dengan lapangan futsal, aku duduk dengan memangku tas hitamku. capek, satu kata yang menggambarkan kondisi terkini terupate dan real time dariku. sebenarnya aku tidak sedang menunggu jemputan. tapi tunggu dulu deh, masih pengen ngaso sebentar.

tanganku kosong selain untuk mengapit tas ransel. pandanganku jatuh ke kumpulan anak laki-laki yang sedang bermain futsal. well, technically main karena hari ini bukan jadwal ekskul futsal dan mereka juga gak pake jersey. kebanyakan dari mereka anak kelas 11 atau 12. ada wajah yang tidak asing saat fokus pandanganku tidak sengaja berakhir di cowok dengan postur tinggi dan rambut yang hitam. bukan postur terbaik seorang laki-laki tapi cukup layak untuk ukuran seorang atlet. dua kancing teratas seragam putihnya sudah terlepas; menampilkan kaos oblong hitamnya. dasi abu-abu dimasukkannya ke dalam saku di dada kiri. pandanganku tidak beralih sampai manik kami bertemu, spontan aku membuang muka. sial, ketahuan gak ya.

sore ini sama seperti sore-sore yang lain, tidak ada hal terkhusus kecuali seorang laki-laki tanpa aba-aba duduk di bangku sebelahku. wangi sisa cologne dan keringat bercampur memenuhi udara sekitar kami, sejak kapan sih dia sedekat ini?

“kok belum pulang?” laki-laki di sebelahku mulai bertanya, tangan kanannya memegang botol minum miliknya. memberikan gestur seolah 'mau gak?' kepadaku, aku menggeleng sebagai respon.

“masih capek” jawabku seadanya, masih memandang lapangan futsal yang kini mulai berkurang jumlah orang di dalamnya.

lelaki itu mengangguk pelan, lalu mulai merapikan bajunya; dimulai dengan mengeluarkan dasi abu-abu miliknya dari saku.

kami tidak dekat, aku bahkan menjaga jarak darinya. hal itu terbilang mudah karena kami tidak pernah satu kelas. pertemuan kami saat di ruang ekskul debat, ia masuk karena bola futsalnya melambung jauh ke ruang ekskulku.

“mau nungguin aku nggak?”

bimbang, aku masih berpikir untuk tidak terlalu dekat dengan tipe cowok sepertinya.

“duh, gimana ya. bentar lagi aku balik sih” semoga jawabanku ini dapat ditangkap maksudnya dengan baik oleh ayie. iya, namanya ayie.

“sebentar ajaa, ya? aku cuma mau ambil tas ke kelas” manik matanya menatapku, berharap bahwa aku memberikannya sedikit waktu.

aku tersenyum ringan, “yaudah, aku tungguin disini”

mendengar jawabanku, ia tersenyum lebar dan mengelus kepalaku sebentar lalu selanjutnya ia berlari menuju ruang kelasnya.

bahaya, ini cowok gak waras. gak boleh gak boleh.

aku dan ayie cukup dekat dan memang sering pulang bersama, tapi tidak cukup dengan untuk mengelus puncak kepalaku. duh

masih kurasakan telapak tangannya di puncak kepalaku, aku menggigit bibir bawahku menahan senyum. gak senyum gak senyum gak senyum, sugestiku dalam hati.

ayie mendatangiku dengan tas ransel yang tersampir di bahunya. aku berdiri dari dudukku dan mulai berjalan di samping kanan laki-laki itu. it feels wrong but right at the same time.

sesekali punggung tangan kami bersentuhan. penasaran, aku menengok ke arah wajahnya yang sekarang mulai merah padam. ya tuhan, aku gak malu sendirian.

mungkin ia sudah mulai gerah dengan semua tabrakan punggung tangan kami, jari kelingkingnya mulai memaut jari telunjukku. aku tidak berusaha melepas. toh, gak salah juga kan?

kami berada di perempatan jalan, dimana biasanya aku dan ayie berpisah karena rumah kami yang berbeda arah. tapi sore ini ayie menolak untuk berpisah di perempatan dan memilih untuk mengantarkanku sampai rumah.

pautan jari kami masih sama, kelingking dengan telunjuk. selama di perjalanan kami hanya diam, ayie yang biasanya memulai percakapan duluan juga menjadi bungkam.

entah keberanian dari mana, pautan jari kami kulepas dan ku genggam tangan kanannya yang kurasa agak basah karena keringat.

reaksi pertamanya adalah melepas genggamanku, lalu diringi dengan permintaan maaf atas keterkejutannya.

“ah maaf banget aku kaget! pegangan lagi ya?” sebelum tangannya menggenggam tanganku, ia usap dulu tangannya di celana abu-abu miliknya. aku yang melihat ini spontan tertawa.

“ayie??? ini ayie kan?? kok jadi bingung gini sihh” aku mengayunkan tangan kami yang berpautan ke depan dan belakang.

wajah dan telinganya kembali merah padam, “plis.. aduh..jangan ledekin aku dong” ia menutup wajahnya dengan tangan satunya yang bebas.

aku masih tertawa, “ih ini kayak bukan ayie!!” aku masih terus menggodanya.

seperti sore-sore pada biasanya, matahari sudah mulai bersiap untuk berganti jadwal dengan sang bulan.

ayie melepas genggaman kami dan berjalan mendahului, masih tetap tidak mau menatap wajahku.

aku berjalan cepat berusaha menyamakan langkah kaki kami. hingga akhirnya kami kembali berjalan bersampingan.

“aku kalo sama kamu juga sering salting sama pusing kok, tenang aja” ucapku dengan tanpa beban, tanganku menepuk pundak ayie yang entah sejak kapan terasa kokoh?

why does it feels nice to hear it from you” balasnya

right? so now you wanna hold my hand or not?

ayie mendecak dan tangan kami kembali menyatu. hingga sampai di depan halaman rumahku, matahari sudah mulai tenggelam.

i think i fall for you.” kataku, masih dengan senyum di wajah.

aku tidak bisa membaca ekspresi ayie, tetapi ia mengatakan sesuatu,

and I'll make you no regret about that

i adore you, a lot” lanjut ayie dan aku menyadari bahwa nafasku tertahan mendengarnya.

lalu sepasang tangan menangkup kedua sisi wajahku, sepersekian detik selanjutnya kurasakan hangat di keningku.

“ay....”

“MAAF” lalu laki-laki itu berlari secepat kilat menjauhi halamanku.


Suna Rintarou, thank you to fulfill the paper about joining my universe.

Arinto Raihan Al-Hadi, 25 Januari 2002.