Sorak Sorai. (Peluk untuk pelik.)

Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam lebih untuk sampai di rumah Karin, kini Wilga sudah tiba di kediaman keluarga Hermawan. Lelaki itu memarkirkan asal mobilnya di depan rumah Karin dan langsung berlari masuk menuju kamar kekasihnya.

“Karin, ini aku Wilga. Please buka pintunya, Rin. Aku disini, jangan takut.” Wilga menggedor-gedor pintu kamar Karin, tidak ada sahutan dari sang kekasih membuat perasaan lelaki itu semakin dilanda resah dan khawatir.

Tentu ini bukan kali pertamanya Karin mengurung diri dikamar selama berhari-hari menyiksa dirinya sendiri dengan tak makan dan minum, dan Wilga sudah tahu betul bahwa gadis itu sedang di keadaan amat yang sangat tidak baik. Hanya ada satu cara membuka pintu kamar Karin dengan mendobraknya, hanya cara itu. Sepertinya Wilga harus merusak pintu kamar sang kekasih untuk kesekian kalinya karena Karin tidak akan membuka pintu begitu saja.

Wilga mundur beberapa langkah tubuhnya sudah berancang-ancang mendobrak pintu, lalu tubuhnya menghantam pintu coklat itu dengan keras beberapa kali berharap pintu itu bisa terbuka. Rasa sakit pada bahunya tidak ia perdulikan yang ia pikirkan sekarang takut jika Karin melakukan hal yang tidak di inginkan di dalam sana, bukan tubuh Wilga yang terlalu lemah tapi pintu kamar Karin yang kuat untuk ia dobrak. Lelaki itu mulai berpikir cara untuk membuka pintu, hanya dengan tangan kosong tentu tidak akan terbuka ia harus benar-benar merusak pintu itu pikiranya.

“Rin kamu dengar aku kan?” Teriak Wilga dari luar, tentu Karin mendengar teriakan dari sang kekasih tetapi dia memilih diam.

Wilga keluar rumah dan berlari ke arah mobilnya lalu membuka bagasi mencari benda yang bisa Wilga gunakan untuk membuka pintu kamar Karin.

Sementara didalam kamar, terlihat Karin yang terisak pelan keadaannya benar-benar sangat kacau. Terlihat kantung matanya menghitam dan matanya begitu sembab menandakan bahwa gadis itu tidak tidur semalaman dan terus menangis tanpa jeda, surai hitam indah miliknya berantakan hampir menutupi sebagian paras juwitanya kemudian kulit putih susunya sudah pucat serta bibirnya terus bergetar mengeluarkan lirihan kepiluan yang ia rasakan. Kamarnya gelap hanya ada suara tangisan penuh sendu dari sang gadis yang tengah memeluk lututnya dilantai yang dingin. Ia tahu Wilga-nya ada disini, tapi ia tak mau jika nanti lelaki itu melihat keadaannya yang sangat kacau.

“Aku butuh kamu, Wilgaa. Tapi aku takut, Wilga aku takut.” Lirih Karin.

Ia sudah tak mendengar dobrakan pintu lagi, pasti Wilga tengah mencari cara untuk merusak pintu itu Karin sudah tahu Wilga tidak akan menyerah begitu saja, tapi sekarang ia benar-benar ingin Wilga tak melihatnya dan berharap lelaki itu pergi. Meski mustahil, dan jauh dalam hatinya ia benar-benar membutuhkan lelaki itu sekarang, ia takut. Karin takut dengan dunia saat ini.

“Wilga, aku takut. Aku takut, Wil. Dunia terlalu berisik, untuk aku yang gak suka di usik. Wilga aku takut, dunia terlalu bajingan untuk aku, Wil.” Karin kembali berucap lirih, ia menutup telinganya dengan kedua tangan berharap suara bising yang memenuhi kepalanya pergi.

Wilga menemukan besi kokoh dari bagasinya yang langsung ia bawa untuk merusak pintu itu, dengan sekuat tenaga Wilga menghantamkan besi itu pada pegangan pintu kamar Karin persetanan dengan rasa sakit di tangannya ia harus bisa membuka pintu itu. Hantaman besi itu terus menumbuk pintu kamar Karin, Wilga mengerahkan semua tenaganya untuk merusak pintu itu yang sialnya sangat keras tapi Wilga tak akan menyerah begitu saja keadaan Karin lebih penting dari apapun.

“Rin, aku disini. Aku tau kamu gak bakalan buka pintunya, jadi tunggu, ya?” Ujar lembut Wilga dari luar.

“Semuanya akan baik-baik aja, Rin. Semuanya akan baik.” Ucap Wilga penuh dengan keyakinan, kini besi itu terlepas dari tangan Wilga dan jatuh begitu saja diatas lantai.

Wilga kembali berancang-ancang mundur dan dengan cepat tubuh tegapnya menghantam kuat pada pintu itu hingga bahunya terasa begitu sakit tapi ia tak peduli, Wilga menghela nafas lega setelah pintu itu berhasil ia dobrak menampilkan keadaan kamar Karin yang gelap.

“Rin?” Wilga langsung masuk kedalam kamar yang gelap, lelaki itu mencoba mencari saklar lampu.

Wilga terkejut bukan main setelah lampu menyala dan mendapati keadaan kacau sang kekasih yang tergeletak di lantai, kedua tangannya berada di telinga, bibirnya tak berhenti mengeluarkan lirihan pelan. Wilga langsung menghampiri Karin dan memeluk gadis itu sangat erat.

“Wilga aku takut, dunia terlalu berisik untuk aku Wil.” Ucap lirih Karin, suara penuh pilu yang berhasil membuat hati Wilga tergores. Ia merengkuh tubuh mungil kekasihnya membiarkan wajah Karin terbenam di dada bidang miliknya.

“Ada aku disini, Karin. Semuanya bakalan baik-baik aja. Trust me everything will be fine.” Wilga mengulurkan sebelah tangannya mengelus punggung Karin dengan lembut berusaha memberi sentuhan yang bisa membuat gadis kesayangannya ini tenang.

“Semua bakalan baik-baik aja, Rin.” Lanjut Wilga mencoba kembali menenangkan Karin.

“Everyone talk shit about me,” Ucap Karin dengan suara yang bergetar.

“dan sialnya apa yang mereka bilang itu bener. I'm sorry, I'm really sorry for everyone saying about me. I'm not as good as you say, I'm don’t deserve you. Aku minta maaf, Wilga.” Lanjutnya, Karin terisak pelan dipelukan Wilga. Ini sisi rapuh dari Karin yang hanya diketahui oleh Wilga.

“Karin, dengarin aku.” Wilga perlahan melepaskan rengkuhan pada tubuh mungil kekasihnya lalu ia menatap lekat wajah Karin.

Kedua tangannya menangkup pipi Karin, menatap netra indah milik gadis kesayangannya dengan lekat. Tersirat pilu pada tatapan yang Karin pancarkan, perlahan tangannya mengusap lembut pipi Karin.

“What they say is not true, everything is not true. They don't deserve to make you sad, I will brush off all their untrue words about you. They can only judge, I know more about you. You are perfect even more than perfect words can describe. Thats fuckin judge, they’re dont deserve your sadness.” Perkataan Wilga membuat Karin terdiam.

“Don't hear anything bad about you okay? They only know that talking about other people is not true, that knows the facts are true or not. It's just bullshit, the truth is they can't be better than you.” Ucap Wilga dengan serius, netra legamnya menilik hazel indah milik Karin, menatap dalam-dalam netra indah Karin.

“You are pure and lots of love surrounds you.” Lanjutnya.

“Do I deserve you?” Tanya Karin.

Wilga menganggukan kepalanya lalu tersenyum kearah sang kekasih. “Of course, you deserve me. You’re perfect and pure, everyone is even jealous of everything you have in you Rin.”

“Tapi aku gak layak untuk kamu, Wilga. Aku gak layak. I'm really sorry, I don’t deserve you.” Tukas Karin, gadis itu langsung menunduk.

“Don’t be sorry for anything about you, I love every part of you.” Jawab Wilga.

“Don't look down, raise your head. And look at on my eyes.” Titah Wilga, ia tak suka jika melihat Karin menunduk.

Karin mendongak, pandangannya bertemu dengan netra legam Wilga. Karin merasa sedikit tenang setelah melihat tatapan teduh dari lelaki dihadapannya. Berbeda dengannya, sorot netra Karin banyak menyiratkan sendu dan kesedihan.

“But I'm a mess at times, and a lot to handle.” Ujar Karin pelan, cairan bening dari pelupuk matanya kembali turun begitu saja membasahi pipi pucatnya.

Karin terus saja melontarkan kata-kata yang membuat Wilga ikut sedih, tapi lelaki ini punya seribu jawaban untuk mematahkan semua pernyataan sang kekasih. Wilga selalu punya jawaban untuk membuat Karin diam, dan Karin tahu itu. Wilga si lelaki penuh ambisi, seperti sekarang.

“You’re my mess and I can handle you all day.” Suara Wilga terdengar penuh keyakinan di setiap kata yang ia lontarkan.

“Don’t be sad please, I love you. Like you’re important so don’t be sad. They don’t deserve your sadness, they don’t.” Lanjut Wilga, ia tak lepas menatap netra indah sang kekasih. Wilga menatap dalam iris hazel cantik milik Karin, sebelah tangannya kembali mengusap pipi Karin menyerka cairan bening yang keluar dari netra indahnya.

“How lucky I am to have you, Rin. You’re just so smart, perfect and beautiful. How did I get so lucky? I don’t understand.” Lanjutnya sambil tersenyum menatap wajah sang kekasih.

“Your mind is so beautiful, like you’re strong and the way you can handle yourself all day is fuckin inspiring honestly.” Wilga menjeda ucapannya.

“I’m not even high, I'm just fall, fall in love with you everyday.”

“Wilga ak—” Ucap Karin terpotong oleh Wilga.

“Kamu sempurna, Rin. Bukti pahatan Tuhan paling sempurna dan paling serius indahnya. Katherine Gladyna, namanya. Kamu indah, kamu cemerlang.” Wilga langsung memotong ucapan Karin, ia tak mau gadis ini terus saja merasa tidak layak. Karin itu sangat layak, layak untuknya. Untuk Wilga.

Hati Karin kembali menghangat perasaan berangsur membaik dan lega hingga guratan senyum manis itu kembali muncul dipahatan paras juwitanya, Wilga ikut tersenyum. Lelaki itu senang bukan main, wajahnya mendekat kearah Karin mendaratkan kecupan singkat di dahi gadis itu.

“Merasa lebih baik?” Tanya Wilga lembut.

Karin mengangguk sebagai jawaban lalu Wilga mengajak Karin bangun dan duduk di ujung ranjang.

“Wilga, terima kasih. Ini terima kasih paling serius untuk segala rasa tenangnya.”

“Terima kasih karena bertahan sejauh ini, Rin. Terima kasih.” Balas Wilga, lelaki itu tersenyum menatap teduh wajah pucat sang kekasih. Meski kulit putihnya itu pucat Wilga tak bohong jika wajah kekasihnya masih terlihat cantik.

“Ish.. Jangan tatap aku kayak gitu. Aku lagi jelek.” Karin yang sadar tengah ditatap dengan intens oleh Wilga segera menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Wilga terkekeh pelan karna tingkah menggemaskan Karin, sisi lain yang ada pada Karin itu sifat menggemaskannya. Wilga tak mengerti bahkan gadis di depannya ketika diam saja sudah terlihat menggemaskan bagi Wilga, entah efek karna Wilga sangat mencintai kekasihnya ini. Wilga seperti diperbudak oleh cinta.

“Kamu selalu cantik, Rin. Apapun keadaannya, kamu cantik.” Tukas Wilga sambil tersenyum.

“Stop doing that.” Ucap Karin penuh penekanan.

Wilga menaikan sebelah alisnya, nampak tengah berpikir. “Stop doing what?”

“Saying things that make me wanna kiss the hell out of you.” Wilga terkejut dengan jawaban Karin yang membuat dirinya kelabakan.

“Hahaha, ngaco. Kamu dari kemarin belum makan kan? Ayo makan dulu, aku yang masakin.” Tawar Wilga kepada Karin, lelaki itu tertawa pelan untuk menghilangkan kegugupannya.

Karin yang melihat telinga Wilga memerah menjadi gemas sendiri dengan pacarnya, pandangannya kini terkunci pada bibir milik sang kekasih. Sangat menggoda, pikirnya. Bibir tipis yang tampak merah namun berisi terlebih ketika lelaki itu sedang berbicara bibirnya terlihat menggemaskan.

Lalu Karin dengan santai mencondongkan tubuhnya ke arah Wilga, sebelah tangan ia gunakan untuk menarik tengkuk kekasihnya kemudian mengecup bibir Wilga yang terasa manis menurutnya di detik kemudian wajahnya kembali menjauh, Karin mengakhirinya dengan kekehan pelan melihat kekasihnya yang terkejut karena tindakan Karin.

Sementara Wilga benar-benar terkejut dengan apa yang Karin lakukan padanya, kedua netranya berkedip beberapa kali. Karin menciumnya tepat di bibir? Ia seperti tengah bermimpi, Wilga masih mencerna kejadian barusan. Karin serius dengan ucapannya, itu membuat Wilga merasa bodoh sekarang. Wilga hanya mampu terdiam, lidahnya seketika kelu. Karin mencium bibir Wilga bukan pipinya. Dan selama hampir dua tahun bersama itu ciuman pertama bagi keduanya.

“Bubs, hey kenapa?” Karin menyadarkan lamunan Wilga, lalu dengan cepat lelaki itu menggelengkan kepala.

“You kiss me on my lips? Rin, aku gak mimpi kan?” Karin dibuat tertawa pelan dengan tingkah sang kekasih.

“Kenapa? Padahal kemarin-kemarin siapa tuh yang selalu semangat minta cium. Eh pas dikasih malah kelabakan sendiri.” Kekeh Karin, tak tahan dengan raut wajah gemas Wilga.

“Can we do it again? Can I kiss you, Rin?” Tanya Wilga ragu, ia menunggu jawaban dari Karin.

Karin mengangguk sambil tersenyum, sebagai izin untuk Wilga menciumnya.

Tangan Wilga dengan tak sabarannya langsung merengkuh pinggul ramping dari gadis kesayangannya ini. Lalu bergerak mengelus pipi Karin hingga tengkuknya dengan lembut, Wilga menarik tengkuk Karin mengikis jarak diantara keduanya. Bibir mereka berdua bertemu, yang hanya menempel kini menjadi lumatan lembut.

Kedua tangan Karin yang awalnya diam pun mulai bergerak mengalung di leher tegas milik Wilga, ia mulai membalas lumatan yang lelaki itu berikan padanya. Perlahan namun pasti keduanya hanyut dalam ciuman lembut saling memberikan lumatan yang membuat perasaan satu sama lain menghangat, netra legam milik Wilga dan netra indah milik Karin sama-sama terpejam tanda mereka tengah menikmati ciuman manisnya.

Karin menarik tubuh Wilga ketika punggungnya lebih dulu jatuh pada ranjang empuk miliknya tanpa melepaskan tautan bibir mereka, Wilga mengukung tubuh mungil kekasihnya. Lumatan lembut itu menjadi gigitan pelan dibibir Karin hingga membuat sang empunya melenguh pelan.

“Eunghh Will...” Lenguhan pertama Karin berhasil lolos begitu saja.

Namun keduanya sama-sama enggan melepaskan ciuman, kini tangan Karin turun mengelus perpotongan leher tegas milik Wilga lalu menarik tengkuk lelaki itu memberi titahan untuk memperdalam lumatannya. Karin semakin dibuat terbuai dengan bibir Wilga, bagaimana bibir itu bergerak melumat serta mengulum bibir bawahnya dengan lembut membuat Karin semakin menarik tengkuk Wilga untuk ciuman lebih dalam.

Lumatan demi lumatan yang Wilga berikan pada bibir ranum sang kekasih terasa lembut namun terasa lebih dalam, Karin reflek menggigit bibir bawah Wilga membuat ciuman yang berlangsung lima menit itu terlepas begitu saja karena Karin yang mulai kehabisan oksigen. Benang saliva diantara bibir Wilga dan Karin menandakan ciuman mereka berakhir, Karin langsung meraup udara sebanyak mungkin mencoba kembali mengatur nafasnya yang terengah. Berbeda dengan Wilga tatapannya tak lepas dari paras cantik sang kekasih, Karin menatapnya dengan tatapan sayu serta bibir ranumnya memerah dan basah.

“Bibir kamu manis dan lembut, rasanya jadi candu baru buat aku, Rin.” Wilga tersenyum melihat wajah Karin yang memerah, lalu kepala Wilga kembali bergerak mendaratkan kecupan pada wajah Karin terakhir ia mendaratkan kecupan di mole milik Karin. Rasanya sudah lama ia ingin mencium mole Karin, dan akhirnya keinginan Wilga terealisasikan sekarang.

Wilga hendak berbicara lagi tapi kini jari telunjuk Karin berada di bibirnya, memberi isyarat untuk diam.

“Shut, hak bicara kamu aku cabut. Jangan bicara aneh-aneh, you should shut up.”

Wilga tersenyum gemas dengan apa yang Karin lakukan padanya, tapi pada akhirnya ia juga memilih menurut lalu membaringkan tubuhnya tepat di samping Karin dan membiarkan sebelah tangannya menjadi bantalan untuk gadis itu tidur. Karin merengkuh tubuh Wilga, rasanya hangat. Bahkan ia sampai lupa jika tadi sempat menangis saking merasa nyaman dan aman dalam dekapan Wilga. Hari ini cukup melelahkan bagi Karin, perlahan kedua netranya terpejam. Karin pergi ke alam mimpi lebih dulu, dan Wilga masih setia menatap wajah tenang milik sang kekasih.